SELAYANG PANDANG
HUBUNGAN SEJARAH PELA GANDONG
NEGERI HATIVE KECIL DENGAN NEGERI HITUMESSENG
A. HUBUNGAN SEJARAH
Menurut Hikayat Tanah Hitu maupun penuturan para tua-tua adat secara turun temurun dari kedua Negeri Hitumessing dan Hative Kecil, bahkan pula terdapat beberapa catatan dalam buku Rumphius (Ambonsche Landbeschryving) maupun catatan lain Rumphius (de Ambonsche History) telah menerangkan bahwa Negeri Hitumessing dan Hative Kecil mempunyai sejarah gemilang sejak dari dahulu sampai sekarang dimana dilukiskan dalam sebuah kapata menyatakan bahwa Negeri Hitumessing dan Negeri Hative Kecil adalah bersaudara, inilah kapata bahasa Tanah Hitu yang bunyinya sebagai berikut : ”HITUMESSENG HATIVE , LUAI BASUDARA , HALA BASUDARA, LAHALOI BASUDARA, PAMAMESSE BASUDARA, HEI LETE MENA NALAI HALE MULI.” Terjemahan bahasa Tanah di atas adalah sebagai berikut : “HITUMESSENG DAN HATIVE ADALAH DUA ORANG BERSAUDARA, MENGANGKAT JANJI SERTA MEMBAWA HUBUNGAN BERSAUDARA UNTUK SALING MENGHARGAI DAN SALING MENGHORMATI BAHKAN SALING MEMPERERAT / MEMPERKUAT HUBUNGAN BERSAUDARA, SEJAK DARI DAHULU SAMPAI SEKARANG.”Bahwa dengan penjelasan kapata di atas memberikan suatu janji untuk diingat secara turun temurun yang harus ditaati dan dijaga oleh kedua Negeri ini Hitumesseng dan Hative Kecil serta seluruh masyarakatnya tanpa membedakan agama, ras atau suku karena ituadalah janji datuk-datuk.
Negeri Hative Kecil berada di Pulau Ambon Jazirah Leitimur dan Negeri Hitumesseng juga berada di Pulau Ambon Jazirah Leihitu bagian Utara, dan kedua negeri ini tidak terlepas dari sepak terjang hubungan sejarah yang disinggung di atas. Oleh karena itu marilah kita telusuri sejenak rangkaian peristiwa sejarah masa lalu itu agar dapat diketahui generasi saat ini dan generasi akan datang. Bergandengan dengan adanya peristiwa Revolusi Ekonomi, di saat bangsa-bangsa Eropa mulai mencari jalan ke Timur Indonesia pada abad 15 dan 16, ketika itu tak lain dan tak bukan untuk mencari sumber-sumber ekonomi, maka bangsa Portugis tiba di Malaka pada tahun 1511 serta Bangsa Belanda tiba di Bengkulu tahun 1956. Sebelum datanganya Belanda, pada tahun 1512 Bangsa Portugis telah menduduki Maluku dan di saat itulah permulaan kesengsaraan rakyat Maluku di bawah penjajahan Barat. Dari sini mulailah penjajahan Portugis di bawah pimpinan Antonio d’Abreo dan Serao, yang untuk pertama kali membangun hubungan dengan orang Hitu tetapi orang Hitu tidak tahu bahwa kelak nanti orang asing itu akan merampas kemuliaan dan kemakmuran mereka.
Jazirah Hitu pada waktu itu abad ke 15 dan 16 terkenal dengan Negeri Empat Perdana (Raja Upu Hata) antara lain masing-masing terdiri dari Perdana Tanah Hitumesseng sebagai Raja Hitumesseng, Perdana Nusatapi , Perdana Totohatu, Perdana Pati Tuban sebagai Raja Hila dengan mempunyai warna pakaian kebesaran masing-masing warna hitam, warna merah, warna kuning dan warna biru. Pemerintahan Empat Perdana yang bersifat federatif itu, telah dihancurkan oleh tindakan Gubernur Belanda Gerard Demmer pada tahun 1646. Setelah itu corak pemerintahan pada pada lain-lain negeri belum dapat dipastikan ketika itu. Namun suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pada waktu itu adalah bahwa ada beberapa wilayah di Leitimur terdapat juga Negeri-Negeri Adat di antaranya Negeri Soya, Hative Kecil, Kilang dan Nusaniwe serta Negeri-Negeri Raja-Raja lainnya di Pulau Ambon, Pulau Pulau Lease dan Huamual. Bahkan ke empat Negeri Adat di atas pada abad ke 16 sudah berada pada pintu perdagangan dengan orang Makasar, Jawa dan lainnya dalam persaingan perdagangan Rempah-Rempah, Cengkeh dan Pala.
B. HUBUNGAN PELA PERANG
Bila kita masyarakat Ambon Leihitu dan Ambon Leitimur , jika kita generasi ini mau bijaksana dengan mempelajari sejarah masa lalu , maka di sanalah ditemukan nilai-nilai persatuan, nilai-nilai kebangsaan dan cinta Tanah Air. Pada tahun 1605 merupakan bukti adanya nilai persatuan antara orang Leihitu dan Leitimur yang telah berhasil mengusir bangsa Portugis dari Ambon Maluku tepatnya pada tanggal 22 Pebruari tahun 1605. Dalam suatu peperangan bila tidak ada nilai persatuan dan kekompakan serta cinta tanah air sudah tentu untuk mengusir bangsa Portugis, Belanda dan Jepang pasti akan sangat sulit dilaksanakan. Namun dengan nilai persatuan dan cinta tanah air inilah orang-orang Leihitu membantu orang-orang Leitimur, ini dapat dibuktikan dalam perang melawan bangsa Portugis pada tahun 1565. Perang ini dikenal dengan sebutan “GUNUNG MAOT” dan tempat ini berada di belakang Negeri Hutumuri dan dalam peperangan itu turut bergabug dengan orang-orang Leihitu diantaranya Negeri Soya, Hative Kecil, Kilang, Hutumuri, Halong, Passo, Hatukau, Nusaniwe. Setelah Portugis mengalami kekalahan perang, maka Portugis mengundurkan diri kembali ke kota Ambon (Benteng Victoria).
Rumphius menjelaskan bahwa pada tahun 1568 orang-orang Leihitu bersama orang Ternate, orang Makasar, orang Jawa serta orang Hative, orang Rumah Tiga dan lainnya telah melakukan penyerangan ke Ambon (Kota Laha) melalui jalur darat di atas pegununungan negeri yang lama (Hukunalo) adalah negeri pertama dari Rumah Tiga yang terletak agak ke Barat di gunung belakang (Hative). Dalam peperangan melawan orang-orang Portugis itu, sudah didesak untuk mundur oleh orang-orang Leihitu, maka mereka terpaksa mundur ke arah Selatan Hukunalo dan berhasil membuat benteng pertahanan di Pantai Honipopu yang dikenal masyarakat sebagai Benteng “Kota Laha”. Benteng Portugis ini bernama “Nosa Senhora da Nunciada” tetapi benteng ini direbut kembali oleh Belanda pada tahun 1605 dan diganti namanya menjadi “Fort Victoria.”
Dengan berakhirnya peperangan orang Leihitu dan Leitimur melawan Portugis maka anak cucu kedua negeri ini tetap menjaga nilai persatuan dan solidaritas cinta tanah air, cinta Negeri Hitumesseng dan cinta Negeri Hative Kecil secara turn temurun sesuai janji datuk-datuk yang diucapkan dalam Bahasa Tanah Hitu sebagai berikut : “YAMI LUAI BASUDARA HITUMESSENG HATIWE…MAE LO’OI ITE SOPO’LUMAI …PAHANENE’E MUFAKATE’E HEI ‘E… MANWAYA MENAE’E NALKULU WA”
yang artinya :
“KAMI BERDUA NEGERI HITUMESSENG DAN NEGERI HATIVE KECIL ADALAH BERSAUDARA…. MARILAH KITA ANAK CUCU BERGANDENGAN TANGAN BERSAMA-SAMA , SALING MENGHARGAI DAN SALING MENJUNJUNG TINGGI SERTA SALING MENDENGAR KESEPAKATAN SECARA TURUN TEMURUN SESUAI JANJI DATUK-DATUK TERDAHULU SAMPAI DENGAN SAAT INI.”