SEJARAH NEGERI HATIVE KECIL
Sejarah mencatat bahwa terbentuknya Negeri Hative Kecil diawali dengan tibanya sebuah kora-kora (alat transport laut) dari wilayah Tuban Jawa Timur pada tahun 1814 dan berlabuh di pantai Kapaha. Setelah menyinggahi pantai Kapaha, turunlah seorang perempuan yang bernama “Nyai Mas” dengan seekor burung nuri (kasturi) serta tanaman pandan yang selanjutnya tempat itu dinamakan “Pandan Kasturi”. Beberapa saat setelah berada di daerah Pandan Kasturi, selanjutnya Nyai Mas dengan ditemani oleh beberapa pengikutnya mencari tempat untuk bermukim. Dalam perjalanan burung kasturi yang dibawah Nyai Mas terbang hinggap di suatu tempat dan mereka memutuskan untuk tinggal di tempat itu sebagai “Negeri Lama” dan ditemani oleh 7 orang (moyang). Namun selanjutnya Nyai Mas melanjutkan perjalanan ke arah Timur tepatnya di Negeri Halong.
Orang pertama yang bermukim di Negeri Lama bernama “Muriany”, yang mengandung arti “Yang Pertama”. Pada suatu hari Muriany pergi menuju pantai dan di sanalah Muriany bertemu dengan seorang laki-laki yang baru datang dari arah Timur dengan ditemani oleh seekor anjing. Setelah menemui lelaki tersebut dan berbincang-bincang cukup lama, Muriany mengangkatnya sebagai saudara dan lelaki tersebut diberi nama “Timorason” yang berarti “Timor adalah Timur dan Asu adalah Anjing”, yang mengandung arti “Anjing dari Timur”. Sejarah Negeri Hative Kecil mencatat bahwa Muriany dan Timorason inilah adalah moyang pertama dan nama “Soa Parenta” yang menjadi penguasa Negeri Hative Kecil dan bertahan sampai saat ini.
Dalam kehidupan kedua saudara ini ternyata mereka harus menghadapi pertempuran dengan Negeri Soya yang disebabkan oleh hubungan seorang perempuan dari Negeri Hative yang bernama Elsina Muriany dengan pemuda Negeri Soya yang bermarga Rehatta. Hubungan kedua anak ini tidak direstui oleh masing-masing keluarga, sehingga timbullah peperangan antara kedua negeri dengan masing-masing menggunakan perlengkapan perang. Untuk memenangi peperangan, Negeri Hative Kecil membawa perlengkapan “Mata Kail Cakalang” sedangkan Negeri Soya menggunakan “Duri Rotan”. Karena sudah terdesak, maka 4 orang moyang dari 7 orang yang ada di Negeri Hative Kecil pergi mencari bantuan ke Negeri Hitu Messing dan Haria, sedangkan 3 orang lainnya tetap tinggal dan menjaga Negeri Hative Kecil.
Pada kenyataannya 4 moyang tersebut menetap di tempat lain yang selanjutnya di beri nama “Hative Besar”, sedangkan 3 moyang tetap menetap dan memerintah negerinya yang selanjutnya disebut “Negeri Hative Kecil”. Ketiga moyang yang tetap menetap di Negeri Hative Kecil adalah Moyang Daniel, Moyang Matheos dan Moyang Frans. Karena memiliki hubungan yang erat sebagai adik kakak dari ke-7 moyang tersebut, sehingga Hative Kecil adalah Kakak (negeri pertama) dan Hative Besar adalah adik. Pertempuran tersebut akhirnya diselesaikan melalui sebuah rekonsiliasi. Sebagai buktinya, Negeri Soya memberi damar yakni sejenis bahan bakar dan sebagian tanah/wilayah kepada Hative Kecil (sampai ke Ongko Liong, Batu Merah) dan Hative Kecil juga memberikan bia dan sebagian tanah kepada Negeri Soya.
Seiring berkembangnya waktu, jumlah penduduk di Negeri Hative Kecil semakin bertambah, dan saat pendudukan bangsa Portugis di mana seorang bangsawan bernama “Rumphius” di Ambon, maka diajaklah masyarakat untuk bermukim di dekat Negeri Halong. Dan dari sinilah cikal bakal awal kehadiran masyarakat Negeri Hative Kecil untuk menetap sampai saat ini. Sejak menetap di permukiman baru (Negeri sekarang), datanglah beberapa orang dari luar masyarakat Hative Kecil dan membentuk masyarakat adat dalam kelompok “Soa Pattikulipan”. Kelompok Soa Pattikulipan dibentuk untuk menampung aspirasi masyarakat pendatang, seperti: Noya, Persulessy, Pesulima, Paliama, Joseph, Dirks, Pattinasarany, Paays, Ruhukail, Hendriks, dan de Rooy, dan lain-lain. Dari ketiga Soa yang menetap di Negeri Hative Kecil, yang menjadi Soa Parenta adalah Soa Muriany dan Soa Timorason.
Sejak diberlakukan sistem pemerintahan pada Negeri Hative Kecil, ternyata yang telah memerintah sebelum tahun 1940 Pemerintah Belanda telah menunjuk Obednego Pieter I memerintah Negeri Hative Kecil. Proses pengalihan kepemimpinan di Negeri Hative Kecil masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia mulai tahun 1941 sampai dengan tahun 1964, dipimpin oleh Johanis Andarias Hendrik Muriany dan sampai sebutan Raja Setelah masa kepemimpinan Johanis Andarias Hendrik Muriany berakhir, maka selama tahun 1964 sampai dengan tahun 1965, Negeri Hative Kecil dipimpin oleh Edward Timorason.
Memasuki masa pemerintahan Orde Baru yakni tahun 1965 sampai dengan tahun 1967, Negeri Hative Kecil dipimpin oleh seorang pejabat Kepala Pemerintahan yakni Zadrak Joseph. Berakhirnya masa pemerintahan Zadrak Joseph, dilanjutkan oleh Benjamin Muriany dari tahun 1967 sampai dengan tahun1971. Masa transisi pemerintahan pada Negeri Hative Kecil dari tahun 1971 sampai tahun 1973, sehingga untuk kedua kalinya Negeri Hative Kecil dipimpin oleh seorang penjabat yakni Dominggus Muriany I.
Untuk mengisi jabatan Kepala Pemerintahan Negeri Hatuve Kecil yang defenitif, maka terpilihlah Enos Noya sebagai Kepala Desa sejak tahun 1973 sampai dengan tahun 1985. Masa kepemimpinan Kepala Desa selanjutnya dialihkan kepada Amus Timorason mulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1994. Tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, Dominggus Muriany II diberi kepercayaan untuk menjadi kepala Pemerintahan Negeri Hative Kecil. Pada masa kepemimpinannya terjadi konflik sosial tahun 1999 sehingga banyak masyarakat Negeri Hative Kecil harus eksodus meninggalkan tanah tumpah darahnya mencari tempat yang aman dan nyaman bagi keluarga. Setelah berakhirinya masa pemerintahan Dominggus Muriany II, dan beralihnya status desa ke negeri melalui proses pemilihan Ir. Josias J. Muriany terpilih sebagai “Raja” selama dua periode yakni periode pertama mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 dan dilanjutkan untuk periode kedua dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2019 memimpin Negeri Hative Kecil.
Belajar dari pengalaman sejarah, ternyata pasang surut kehidupan masyarakat di Negeri Hative Kecil harus diperhadapkan dengan berbagai peristiwa penting, antara lain;
- Peristiwa pada tanggal 08 Oktober 1950 yang dikenal saat itu dengan Air Turun Naik atau “Banjir Galala” sekalipun tidak terdapat korban jiwa namun memporakporandakan seluruh sendi ekonomi, sosial masyarakat pesisir Hative Kecil dan Galala yang harus mengungsi ke dataran tinggi.
- Konflik sosial berkepanjangan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, yang menelan banyak korban jiwa manusia dan harta benda, akibatnya masyarakat harus eksodus mencari tempat yang aman bagi keluarga. Dampak lain yang terasa dari peristiwa ini adalah masyarakat yang mengungsi dan merasa kurang nyaman mengurus administrasi kependudukan di Negeri Hative Kecil lalu mengalihkan pengurus ke Negeri tetangga sehingga pada akhirnya kawasan permukiman yang mereka tempati sekarang dan merupakan hak ulayat Negeri Hative Kecil diklaim oleh Negeri yang mengeluarkan hak-hak administrasi kependudukan bagi warga Hative Kecil sebagai hak petuanannya.
- Banjir bandang masing-masing tahun 2005, 2012 dan 2013, ikut meluluhlantakkan permukiman masyarakat sehingga banyak harta benda masyarakat yang hancur dan rusak.
Sumber informasi dari catatan sejarah ini hanya disampaikan lisan secara turun temurun, maka Pemerintah Negeri Hative Kecil menganggap penting untuk menyelenggarakan forum diskusi ilmiah untuk mendapatkan Sejarah Negeri yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara geografis, wilayah administrasi pemerintahan Negeri Hative Kecil memiliki kondisi fisik wilayah yang cukup datar kecuali sebagian kecil pada bagian Selatan sedikit berbukit dengan luas wilayah lebih kurang 1,53 Km2. Wilayah permukiman linier sepanjang pantai membujur dari arah Barat ke arah Timur dengan memiliki garis pantai lebih kurang1 Km, membawahi 6 Rukun Warga (RW), 28 Rukun Tetangga (RT), dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Teluk Dalam.
- Sebelah Selatan : Petuanan Negeri Soya.
- Sebelah Barat : Kelurahan Pandan Kasturi dan Petuanan Negeri Batu Merah.
- Sebelah Timur : Negeri Halong